Minggu, 10 Juni 2012

akhwat vs wanita

Di dunia ini tentunya terdapat berbagai jenis karakter manusia, dalam hal tersebut kita dapat mempelajari dan memahami beberapa karakter manusia, pembahasan saat ini saya akan membahas tentang ciri-ciri Akhwat dan wanita.untuk lebih jelasnya marilah kita bahas hal ini. ada beberapa perbedaan antara Akhwat dan wanita, hal tersebut di bedakan dari sudut pandang cara kehidupannya, diantaranya yaitu :

ciri-ciri seorang akhwat:

~ tidak mengenal yang namanya pacaran, tetapi akhwat itu mengenal ta'aruf yaitu hanya mengenal seseorang ikhwan itu lebih jauh lagi tanpa harus berpacaran sebagaimana mestinya perempuan biasa.
~ memakai pakaian yang sesuai dengan ketentuan agama, artinya tidak menggunakan pakaian yang minim/ketat, dan tidak menunjukkan bentuk lekuk tubuhnya. pakaian seorang akhwat itu longgar, menutup seluruh auratnya sesuai dengan aturan agama yaitu hanya menampakkan muka dan telapak tangannya, bahkan ada yang memakai cadar.
~ tidak mengenal dunia malam yaitu seorang akhwat tidak pernah keluar malam seperti wanita-wanita lainnya artinya suka dugem/pergi-pergi ke diskotik.
~selalu mentaati perintah agama dan tidak pernah membantah orang tua.
~tidak pernah keluar rumah kecuali ada urusan yang sangat penting seperti mengaji, sekolah, dll.
~seorang akhwat itu selalu menjaga kemaluannya tidak seperti wanita-wanita yang selalu berada di jalan, artinya tidak seperti pekerja-pekerja seks.
~tidak mementingkan kepentingan dunia, seperti berdandan yang berlebihan, memakai minyak wangi yang berlebihan, karena memakai minyak wangi bagi seorang wanita berarti menunjukkan auratnya.
~selalu memilah-milih dalam bergaul
~bertutur katanya sopan dan sangat mempunyai etika.


tidak seperti akhwat, adapun beberapa wanita yang selalu melanggar ketentuan agama, yaitu ciri-cirinya:

~selalu menampakkan bagian-bagian tubuhnya, artinya ia selalu memakai pakaian yang minim dan memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya pada orang lain.
~ tidak seperti akhwat, kehidupan wanita sepeti ini ia mengenal yang namanya pacaran, dalam hal tersebut terkadang ia lupa dan akhirnya ia kebablasan hingga ia hamil.
~idak pernah melaksanakan perintah-perintah agama dan membantah orang tua.
~hidupnya itu selalu berlebihan, artinya ia selalu membuang-buang/menghambur-hamburkan hartanya untuk hal-hal yang tidak penting.
~tutur katanya tidak sopan dan selalu bersuara keras dalam berbicara.
~selalu berkeinginan keluar rumah, seperti nongkrong dengan teman mainnya, shopping, dll.
~tidak memilah-milih dalam bergaul, sehingga ia bisa kebablasan dalam pergaulannya itu.

Jazzakumullahu khayran wa Barakallahu fikum.
Salam Santun Erat Silaturahmi dan Ukhuwah Fillah

do'a seorang muslimah

Ya … Allah,
Jika aku jatuh Cinta
Cintakanlah aku pada seseorang yang
melabuhkan cintanya pada–Mu
Agar bertambah kekuatanku untuk mencintai–Mu

Ya … Muhaimin,
Jika aku jatuh Cinta
Jagalah cintaku padanya agar tidak
melebihi cintaku pada–Mu

Ya … Allah,
Jika aku jatuh Hati
Izinkanlah aku menyentuh hati seseorang
yang hatinya tertaut pada–Mu
Agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu

Ya … Rabbana,
Jika aku jatuh Hati
Jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada hati–Mu

Ya … Rabbul Izzati,
Jika aku Rindu
Rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan–Mu
Dan jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga–Mu

Ya … Allah, Jika aku menikmati cinta kekasih–Mu
Janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya
bermunajat di sepertiga malam terakhir–Mu

Ya … Allah,
Jika aku jatuh hati pada kekasih–Mu
Jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam
perjalanan panjang menyeru manusia pada–Mu

Ya … Allah,
Jika kau halalkan aku merindui kekasih–Mu
Jangan biarkan aku melampui batas sehingga melupakan
aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada–Mu

Ya … Allah,
Engkau mengetahui bahwa hati–hati ini
Telah berhimpun dalam cinta pada–Mu,
Telah berjumpa pada taat pada–Mu
Telah bersatu dalam dakwah pada–Mu
Telah berpadu dalam membela syariat–Mu

Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya,
kekalkanlah cintanya

Tolong Aku Mama...!


Sahabat, saya mendapatkan cerita ini dari salah seorang sahabat.
Ketika saya membaca cerita ini, saya langsung teringat melihat berbagai macam photo tentang proses aborsi.

......Terlihat gambar yang tidak begitu jelas, tapi sang dokter menjelaskan secara detail mana sang janin dan sebuah alat penyedotnya. Sebuah alat besar dimasukkan kedalam liang rahim sang ibu untuk mencabik-cabik dan menyedot organ-organ sang janin hingga pada bagian kepala yang susah untuk disedot, maka dimasukkanlah alat seperti sebuah tang untuk meremukkan tengkorak kepala sang bayi agar bisa disedot.

Astaghfirullah... saya tak mampu menuliskannya dengan detail. Sebuah kekejian yang luar biasa yang dilakukan dokter dan ibunya sendiri.

Mungkin dari cerita rekaan ini bisa menggambarkan bagaimana keadaan sang bayi kecil tak berdosa itu...


____________

Mama sayang,...

Aku di surga sekarang,
duduk di pangkuan Tuhan.
Ia mengasihiku dan menangis bersamaku, sebab pedih pilu hatiku begitu ingin aku menjadi putri mungilmu.
Tidak terlalu mengerti aku akan apa yang telah terjadi.
Aku begitu senang ketika mulai menyadari keberadaanku.

Aku ada disuatu tempat yang gelap, namun nyaman.
Aku melihat bahwa aku telah mulai punya jari-jari dan jempol.
Aku cantik seturut perkembanganku, tapi aku belum siap ketika meninggalkan tempatku.

Aku menghabiskan sebagian besar waktuku dengan berpikir atau tidur bahkan sejak hari-hari pertamaku, aku merasakan ikatan istimewa antara engkau dan aku.

Kadang aku mendengarmu menangis dan aku menangis bersamamu.
Kadang engkau berteriak dan memaki, lalu aku menangis.
Aku dengar Papa memaki balik.
Aku sedih dan berharap engkau akan segera baik kembali.
Aku heran mengapa engkau begitu sering menangis.
Suatu hari engkau menangis hampir sepanjang hari.
Pilu hatiku karenanya.
Tak dapat kubayangkan mengapa engkau begitu berduka.

Pada hari itu juga hal yang paling mengerikan terjadi.
Suatu monster yang amat keji masuk ke tempat hangat dan nyaman dimana aku berada.
Aku sangat takut, aku mulai menjerit, tapi tak sekalipun engkau berusaha menolong.
Mungkin engkau tak pernah mendengarku......

Monster itu semakin lama semakin dekat, sementara aku terus berteriak
“Mama, Mama, tolong aku.....,
Mama......
tolong aku...”

Suatu terror yang ngeri aku rasakan.
Aku berteriak dan berteriak hingga tak sanggup lagi.
Lalu monster itu mulai mencabik lenganku, sungguh sakit rasanya, sakit yang tak kan pernah dapat kuungkapkan dengan kata.
Monster itu tidak berhenti.

“Oh....
bagaimana aku harus mohon agar ia berhenti...!”

Aku menjerit sekuat tenaga, sementara ia mencabik putus kakiku.
Sepenuhnya aku dalam kesakitan, aku sekarat.
Aku tahu tak kan pernah aku melihat wajahmu atau mendengarmu membisikkan betapa engkau mengasihiku, mama.

Mama,
Aku ingin menghapus butir-butir air matamu ketika engkau bersedih.
Aku punya begitu banyak rencana untuk membuatmu bahagia.
Mama....
Tapi aku tak dapat.
Mimpi-mimpiku musnah sudah, walau menanggung sakit tak terperi pedih dan pilunya hati kurasakan melampaui segalanya.
Lebih dari segalanya aku ingin menjadi putrimu.
Tak ada gunanya sekarang, aku meregang nyawa dalam sengsara tak terkatakan.
Hanya hal-hal buruk yang terlintas dibenakku.

Sesungguhnya begitu ingin aku mengatakan bahwa aku mengasihimu sebelum aku pergi, tapi aku tak tahu kata-kata yang dapat engkau mengerti.
Dan segera saja aku tak lagi punya nafas untuk mengatakannya.

Sekarang aku mati.
Aku merasa diriku terangkat seorang malaikat besar membawaku kesuatu tempat yang besar dan indah.
Aku masih menangis, tapi segala rasa sakit tubuhku sirna sudah.
Malaikat membawaku kepada Tuhan dan membaringkanku dalam pelukanNya.
Tuhan mengatakan bahwa Tuhan mencintaiku.
Lalu aku merasa bahagia.
Kutanya padaNya apa itu yang membunuhku?
Tuhan menjawab,
“Aborsi.”

Aku tidak tahu apa itu aborsi.
Aku pikir mungkin nama monster itu.

Aku menulis untuk mengatakan betapa aku mengasihimu dan mengatakan padamu betapa ingin aku menjadi putri mungilmu.

Aku telah berjuang sehabis-habisnya untuk hidup,
aku ingin hidup......!
Kuat keinginanku, tapi aku tak mampu.
Monster itu terlalu kuat.
Dicabik-cabiknya lengan dan kakiku dan akhirnya seluruh tubuhku.
Tak mungkin bagiku untuk hidup.
Aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku berusaha tinggal bersamamu.
Aku tidak mau mati!

Mama,
berhati-hatilah terhadap monster bernama aborsi itu.
Mama,
aku mengasihimu.
Aku sedih karena engkau harus menanggung rasa sakit seperti yang kualami.

Berhati-hatilah.

Peluk & cium,
Bayi Perempuanmu.

~~~

Sahabat,
saya sangat sedih ketika membaca rekaan cerita diatas.
Saya yakin andapun juga.

Saya memiliki data, walaupun data lama yakni

“Setiap tahunnya sekitar 150 ribu anak dibawah 18th terjebak jadi pelacur.
4% kasus kehamilan remaja lebih banyak terjadi pada remaja dibawah 18th dan 7% pada remaja dibawah 16th.

Sementara sebanyak pula 43,1% gadis berusia dibawah 18th melakukan aborsi.”

(Guntoro Utamadi, staf Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) diharian Kompas 1997).

Itu tahun 1997, Entahlah apakah dari tahun ke tahun semakin naik ataukah semakin turun?

Tak ada kata lain sahabat, mari kita bersatu padu untuk mencegah terjadinya praktek pembunuhan janin ini.

Mungkin lebih pantas disebut pembunuh daripada sekedar pelaku aborsi.

Yuk, mulai dari diri kita sendiri hindarilah & jauhi dari perbuatan zina.

Tak terbayang sebuah kekejian orang tua yg tega membunuh anak kandungnya sendiri.

Na’udzubillahimindzalik.....

S A H A B A T


Aku mencintaimu karena agamamu,Jika hilang agamamu dari dirimu,maka hilanglah cintaku padamu.

Aku sedang menanti dia.Seorang lelaki yang akan bergelar suami.Seorang mukmin yang merindui syahid di jalan ALLAH.
Seorang hamba-NYA yang senantiasa Dzikrullah.

Kehadiranmu menyinari hidupku,kehangatan cintamu mengobati sepiku,kelembutanmu mengobati lukaku, kemanjaanmu adalah penawar resahku..

seorang lelaki yang tegas dan berani.tidak pernah takut untuk berkata benar.tidak pernah gentar melawan nafsu yang ingin menguasai diri.senantiasa mengajak aku berjuang berjihad fisabilillah.selalu menghiburkan aku.Dengan alunan ayat-ayat suci Al-Quran.Dengan dzikir-dzikir munajat.Dengan surat-surat rindu yang dihafalnya.Ketika aku terlena mimpi indah duniawi.Dia menasehati ku supaya mengingati mati.Ketika aku sedang asyik terpesona dengan buaian cinta dunia.Dia menyadarkan aku betapa lezatnya lagi pesona cinta Yang Maha Esa.

Memang senantiasa kelihatan penat.Matanya penat karena membaca.Suaranya lesu karena penat mengaji dan berzikir.Badannya letih karena bermunajat di malam hari.senantiasa mengingati mati.Baginya dunia ini adalah pentas lakon semata-mata.Kita hamba-NYA adalah pelakon.Hasil keputusan lakonan kita akan diputuskan di padang Mahsyar nanti.

Senantiasa menjaga matanya dari perkara-perkara maksiat.senantiasa mengajak aku mendalami ajaran Islam.seorang yang penyayang dan taat akan kedua ibu bapak.dia juga senantiasa berbakti untuk keluarga.dia senantiasa tabah dan sabar dalam menghadapi fitnahan.baginya fitnahan itu adalah sebuah cambukan.

Sajadah imannya yang terkoyak.Lantaran mungkin karena kekhilafannya sendiri.senantiasa menjaga sholatnya karena itulah sejati diirinya.dia senantiasa bersedia menjadi imam dan pemimpin keluarga.dia tidak pernah berasa malu mempertahankan agama Islam-NYA.

Karena Islam adalah dien ALLAH yang sebenar-benarnya.dia senantiasa ingin mencontohi sifat-sifat mulia Rasullullah S.A.W.

Juga senantiasa berusaha mencintai kekasih agungnya.Kekasih sejatinya dan kekal abadi,Yaitu ALLAHU RABBI...dia selalu berdoa dan mengimpikan syurga dia ingin mengajak aku ke sana sekali.Karena,di situlah tempat pertama wujudnya cinta.

Aku mencintai dia karena agamanya dan karena cintanya kepada Maha Pencipta.

Andai dia hilangkan cintanya, maka hilanglah cintaku pada dia.

Cinta dia terhadap Maha Pencipta mendekatkan aku pada-NYA.

Cinta Illahi jugalah yang menyebabkan aku memilih dia.

Siapakah dia..???

Aku juga tidak mengetahui siapakah dia jodoh ku.

Hanya Engkau Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Doaku,semoga dia tercipta untuk ku..Semoga aku bertemu jodoh dengan dia.

"Biarlah aku dengan cara aku sendiri,karena dengan cara ku sajalah,aku dapat kenali diriku sendiri,Biarlah aku ditemani pelangi di waktu senja,karena Hanya pelangi sajalah yang bisa ceriakan hidupku,Karena pelangi Itu adalah Kamu!"

Saya selalu berdoa, jika saya dijodohkan dengan kamu,
tetapkan lah hati saya dengan kamu,
jika tidak,mohon pada Allah tenangkan hati saya dan menerima seadanya..'

"Nafsu mengatakan perempuan itu cantik atas dasar rupanya. Akal mengatakan perempuan itu cantik atas dasar ilmu dan kepintarannya.Dan hati mengatakan perempuan itu cantik atas dasar akhlaknya."

cinta semestinya bersatu jika kita tidak di takdirkan bersama. cinta sejati adalah cinta antara suami dan istri. teruskan mencintai milik kita, pasti bahagia. jangan coba mengkhianati cinta yang telah Allah anugerahkan kepada kita. belajar mencintai dan terus mencintainya…

“Kita tidak boleh mencintai orang lain,sebelum mencintai diri sendiri.Dan kita tidak boleh mencintai diri sendiri..sebelum mencintai Allah!

“Ya Allah, berikanlah cinta-Mu kepadaku,jadikanlah orang yang mencintai-Mu mencintai aku dan jadikanlah aku mencintai segala sesuatu yang membawa kepada kecintaan-Mu!”

Aamiin Ya Rabbal'alamiin

Berhenti Jadi Wanita Karir


      
 Sore itu sembari menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar. Kulihat seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk disamping masjid. Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga. Aku mencoba menegurnya dan duduk disampingnya, mengucapkan salam, sembari berkenalan.

Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada pertanyaan itu. “Anti sudah menikah?”.

“Belum ”, jawabku datar.

Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi “kenapa?”

Pertanyaan yang hanya bisa ku jawab dengan senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan.

“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.

“Menunggu suami” jawabnya pendek.

Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “Mbak kerja di mana?”

Entah keyakinan apa yang membuatku demikian yakin jika mbak ini memang seorang wanita pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa membuat kita lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh saja.

“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ?

Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas dibenak kami wanita karir. Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhty. Dan kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan kepalanya pusing. Celakanya rasa pusing itu juga menyerang saya. Berbeda dengan saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah !!”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.

Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya (kami memang berkomitmen untuk tidak memiliki khodimah)? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga.

Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya. Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”

Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.

“Kamu tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700 rb/bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam itu saya benar-benar merasa sangat durhaka pada suami saya.

Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata “Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”, begitulah katanya. Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong dan durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir tidak ada wanita karir yang selamat dari fitnah ini”

“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya" Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.

“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya justru tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan yang lain.”

Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.

“Kak, bukankah kita harus memikirkan masa depan ? Kita kerja juga kan untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.

Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali mengalir, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.

“anti tau, saya hanya bisa menangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah DIPANDANG RENDAH olehnya.

Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ?

Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan ?

Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.

Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.

Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.

Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya. Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan pekerjaan suami saya ukhty, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan seperti itu.

Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.

Suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkanku.

Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, wanita itu meninggalkanku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.

Ya Allah….

Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku. Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laa ilaaha illallah...Allahu Akbar

Semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya..


Dalam kisah tersebut diceritakan, sepasang muda-mudi yang menjalin rumah tangga bukan karna saling mencintai, akan tetapi karena paksaan orang tua. Sang istri sebenarnya sangat membenci suaminya, namun kebencian itu tidak pernah ia tunjukkan kepada siapapun dan bahkan sang istri tetap melayani suaminya selayaknya suami istri pada umumnya, karena memang itulah kewajibannya.
Seiring berjalannya waktu, mereka pun dikaruniai seorang anak, padahal dari awal sang istri sudah memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Dan dari sinilah Kisah Suami Istri yang Mengharukan ini dimulai. Ok langsung saja kita simak kisah selengkapnya berikut ini ...

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada.
Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja.
Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental.
Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang ...
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.


Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...